Eks Dirut Petral Jadi Tersangka Kasus Mafia Migas


Eks Dirut Petral Jadi Tersangka Kasus Mafia Migas Wakil Ketua KPK Laode M Syarif. (CNN Indonesia/Andry Novelino)

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Managing Director Pertamina Energy Service Pte. Ltd (PES) periode 2009-2013 Bambang Irianto sebagai tersangka dugaan perkara suap terkait dengan perdagangan minyak mentah dan produk kilang di PES.

Penetapan tersangka kasus mafia migas itu, diperoleh KPK setelah melakukan penyelidikan sejak Juni 2014.

"Setelah terpenuhi bukti permulaan yang cukup, KPK meningkatkan ke penyidikan dalam perkara dugaan penerimaan hadiah atau janji terkait kegiatan perdagangan minyak mentah dan produk kilang di PES selaku subsidiary company PT Pertamina," ujar Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif di Gedung Merah Putih, Jakarta, Selasa (10/9).


Bambang diketahui juga menjabat sebagai Direktur Utama Pertamina Energy Trading Ltd (Petral) sebelum diganti pada tahun 2015. Adapun PES yang berkedudukan hukum di Singapura dan Petral di Hong Kong merupakan perusahaan subsidiari PT Pertamina.

Menindaklanjuti arahan Presiden yang meminta PT Pertamina melakukan peningkatan efisiensi dalam perdagangan minyak mentah dan BBM pada tahun 2012, maka PES mengacu kepada pedoman yang menyebut penetapan penjual dan pembeli yang hendak diundang untuk ikut dalam competitive building atau direct negotiation mengacu pada aturan yang telah ditetapkan oleh PT Pertamina dengan urutan prioritas: National Oil Company (NOC), Refiner/ Producer, dan Potential Seller/ Buyer.Pada periode 2009-2012, perwakilan Kernel Oil Pte. Ltd. beberapa kali diundang dan menjadi rekanan PES dalam kegiatan impor dan ekspor minyak mentah untuk kepentingan PES.Dua perusahaan itu dibentuk untuk melaksanakan kegiatan perencanaan, pengadaan, tukar menukar, penjualan minyak mentah, intermedia, serta produk kilang untuk komersial dan operasional.

Kasus ini bermula pada 2008, saat Bambang masih bekerja di kantor pusat PT Pertamina. Laode menjelaskan Bambang saat itu bertemu dengan perwakilan Kernel Oil Pte. Ltd. yang merupakan salah satu rekanan dalam perdagangan minyak mentah dan produk kilang untuk PES.

Lalu, saat Bambang menjabat sebagai Vice President (VP) Marketing, PES melaksanakan pengadaan dan penjualan minyak mentah serta produk kilang untuk kebutuhan PT Pertamina yang dapat diikuti oleh National Oil Company, Major Oil Company, Refinery, maupun trader.


"Tersangka BTO (Bambang Irianto) selaku VP Marketing PES membantu mengamankan jatah alokasi kargo Kernel Oil dalam tender pengadaan atau penjualan minyak mentah atau produk kilang," pungkas Laode.

Atas imbalannya, ungkap dia, Bambang menerima sejumlah uang yang diterima melalui rekening bank di luar negeri. Bahkan Bambang mendirikan SIAM Group Holding Ltd yang berkedudukan hukum di British Virgin Island yang diketahui sebagai Tax Heaven Services.

Melalui rekening SIAM, uang yang diterima Bambang sekurang-kurangnya US$2,9 juta.


Perusahaan yang menjadi rekanan PES seharusnya masuk ke dalam Daftar Mitra Usaha Terseleksi (DMUT), namun kenyataannya tidak begitu. Bambang bersama pejabat PES lainnya menentukan rekanan tender, satu di antaranya ialah NOC dan pada akhirnya menjadi pihak yang mengirim kargo untuk PES adalah Emirates National Oil Company (ENOC).

"Diduga ENOC merupakan 'perusahaan bendera' yang digunakan pihak perwakilan Kernel Oil. Tersangka BTO diduga mengarahkan untuk tetap mengundang NOC tersebut meskipun mengetahui bahwa NOC itu bukanlah pihak yang mengirim kargo ke PES/ Pertamina," tukas Laode.

Atas perbuatannya, Bambang disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b subsider Pasal 11 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sumber: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190910163539-12-429164/eks-dirut-petral-jadi-tersangka-kasus-mafia-migas
.
Share:

Contohkan Kasus RJ Lino, JK Dukung SP3 di Revisi UU KPK


Contohkan Kasus RJ Lino, JK Dukung SP3 di Revisi UU KPK Wakil Presiden Jusuf Kalla. (CNN Indonesia/Andry Novelino)

Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan salah satu poin yang harus diperbaiki dalam draf revisi UU KPK adalah kewenangan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3). JK  mencontohkan kasus korupsi yang menjerat mantan Direktur Utama Pelindo II RJ Lino yang menggantung sejak 2015. 

"Itulah guna ada SP3 kalau tidak bersalah. Ya contoh RJ Lino, lima tahun digantung. Mau dilepas tidak ada, mau yang begitu tidak cukup, akhirnya hartanya disita sampai sekarang," ujar JK di kantor wakil presiden, Jakarta, Selasa (10/9). 

Selama ini JK mengaku mengenal RJ Lino sebagai sosok yang baik. Kasus itu pun dinilai JK merugikan karena membuat RJ Lino kehilangan jabatan sebagai dirut. 


"Itu contoh satu, pasti banyak lagi. Jadi kita tidak ingin ada semena-mena juga. Semuanya harus lewat jalur hukum," katanya. 


Sejumlah pihak sebelumnya juga mengkritik KPK lantaran lambatnya penyelesaian perkara tersebut. Kasus ini kerap kali jadi PR Tahunan bagi KPK. Lantaran sempat satu tahun tidak ada kabar soal kasus ini, LSM Masyarakat Anti Korupsi (MAKI) menuding KPK telah menghentikan kasus ini secara diam-diam.


JK sebelumnya menyatakan sejumlah poin dalam UU KPK perlu direvisi untuk menjaga batasan kinerja KPK. Namun menurutnya hanya sebagian poin yang harus direvisi, di antaranya soal keberadaan dewan pengawas, kewenangan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3), dan soal penyadapan. 

Sementara terkait kasus RJ Lino hingga saat ini KPK masih melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah saksi. RJ Lino diketahui telah ditetapkan sebagai tersangka sejak 2015 terkait suap pengadaan Quay Container Crane (QCC). 


Sumber: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190910173422-12-429185/contohkan-kasus-rj-lino-jk-dukung-sp3-di-revisi-uu-kpk
Share:

Uang Rp1,8 Miliar Hilang di Halaman Kantor Gubernur Sumut


Uang Rp1,8 Miliar Hilang di Halaman Kantor Gubernur Sumut Ilustrasi. (CNN Indonesia/Hesti Rika)
Uang sebanyak Rp1,8 miliar disebut hilang saat ditinggal di dalam mobil yang parkir di halaman Kantor Gubernur Sumut di Jalan Diponegoro, Medan, Senin (9/9). Uang itu rencananya akan dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD).

"Iya. Saya sudah dengar tadi. Tapi ini masih konfirmasi dengan orang keuangan," kata Kabag Humas Pemprov Sumut M Ikhsan saat dikonfirmasi membenarkan kehilangan itu, Selasa (10/9).

Uang senilai Rp1,8 miliar tersebut rencananya dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Pemprov Sumatera Utara.Dia mengaku belum mendapatkan informasi soal kehilangan uang yang bakal dikelola oleh BPKAD itu. "Saya belum tahu itu," kata Edy.Dia enggan menjelaskan lebih detail mengenai kasus kehilangan itu, dengan alasan masih menelusuri informasi lengkap dari bidang keuangan Pemprov Sumut. "Nanti kita informasikan lebih lanjut," katanya.

Informasi yang diperoleh, uang itu awalnya dibawa seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) dan pegawai honorer. Mereka memang ditugaskan mengambil uang itu dari Bank Sumut.


Saat tiba di kantor gubernur, uang milik Pemprov Sumut itu ditinggal di dalam mobil. Tak lama berselang, saat pegawai itu kembali ke mobil, uang tersebut sudah raib.

Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi enggan berkomentar banyak soal peristiwa uang raib tersebut.


Namun dia menegaskan jika Pemprov Sumut tidak boleh kehilangan uang itu. Sebab, uang tersebut merupakan uang rakyat.

"Saya belum dapat informasi lengkapnya," ungkap Edy. 

Sementara itu Kepolisian Resor Kota Besar Medan telah menerima laporan kehilangan uang senilai Rp1,8 miliar di halaman Kantor Gubernur Sumatera Utara.

"Sudah, ini masih kita selidiki," kata Kasat Reskrim Polrestabes Medan AKBP Putu Yudha Prawira saat dikonfirmasi Antara.


Namun uang yang baru saja diambil dari Bank Sumut oleh pegawai honorer Aparatur Sipil Negara (ASN) hilang saat ditinggal di dalam mobil.


Sumber: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190910185430-12-429214/uang-rp18-miliar-hilang-di-halaman-kantor-gubernur-sumut
Share:

Selidiki Kasus Ular, Polisi Tak Boleh Masuk Asrama Papua


Selidiki Kasus Ular, Polisi Tak Boleh Masuk Asrama Papua Kapolda Jawa Timur Irjen Pol Luki Hermawan (CNN Indonesia/Farid Miftah)

Polda Jawa Timur hingga kini mengaku belum bisa mengusut dugaan teror pelemparan ular di Asrama Mahasiswa Papua, Surabaya. Para penghuni asrama disebut masih belum memperkenankan polisi untuk masuk.

Kapolda Jatim Irjen Luki Hermawan mengatakan pihaknya bahkan hingga saat ini belum bisa berkomunikasi dengan para penghuni. Akibatnya olah TKP di lokasi kejadian terhambat.

"Sedang diselidiki karena kami masih mau masuk dari kemarin untuk mengolah TKP. Kami ingin tahu yang kasus sebenarnya, tapi kami tidak bisa masuk ke asrama," ujarnya Luki, di Mapolda Jatim, Selasa (10/9).


Luki berharap para penghuni asrama memberi akses kepada kepolisian untuk melakukan penyelidikan. Dia ingin kasus ini cepat selesai.

"Kami berharap saudara di wisma (Papua) ini, bahwa kita negara hukum, mari kita taati hukum yang berlaku, kami akan tangani secara prosedur supaya masalah ini cepat selesai," ujarnya.


Yoab tak tahu pasti apa jenis ketiga ular tersebut. Ia khawatir jika ular-ular yang terlepas tersebut ternyata jenis ular berbisa, yang dapat mengancam keselamatan penghuni asrama."Untuk sementara belum (kami) dilaporkan," kata salah satu penghuni asrama, Yoab Orlando, kepada CNNIndonesia.com, melalui pesan singkat, Senin (9/9).Luki meminta para mahasiswa mau kooperatif. Dia juga meminta mahasiswa membuat laporan terkait teror pelemparan karung berisi ular.

Polisi, kata Luki, pada prinsipnya siap mendalami dugaan aksi teror tersebut, jika mahasiswa Papua mau membuat laporan kepada kepolisian.

"Kalau ada media (wartawan) yang bisa masuk (asrama), sampaikan kami anggota Polri ingin olah TKP yang ada di dalam, sampai sekarang kita belum tahu yang benar yang mana, pada prinsipnya kami akan lakukan proses hukum apabila ada pihak-pihak yang merasa dirugikan," kata Luki.

"Yang penting kita bisa olah TKP, kalau kita tidak bisa olah TKP bagaimana kita bisa mau tahu kasus yang sebenarnya," kata dia.

Sementara itu, salah satu penghuni asrama Yoab Orlando mengaku masih trauma dengan pengepungan yang sebelumnya terjadi pada Agustus lalu. Karenanya, hingga saat ini, para penghuni asrama masih belum mau membuat laporan ke Kepolisian.


Sebelumnya, pada pukul 04.19 WIB Senin (9/9), para mahasiswa di Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya, dikagetkan dengan aksi pelemparan sejumlah ular ke dalam asrama.

Yoab menuturkan sedikitnya ada empat ekor ular yang dilempar ke dalam asrama. Yang pertama adalah seekor ular berjenis piton, di dalam karung beras ukuran 15 kilogram. Lalu ada tiga ular lainnya, berada di dalam karung kain.

"Kalau di dalam karung itu satu ekor, itu besar sekali, terus kalau tiganya itu di dalam kain, baru dilempar langsung ke dalam, kainnya tidak diikat keras, langsung ularnya tercerai itu (terlepas)," kata dia.

Usai pelemparan, satu ekor ular yang diduga berjenis piton berhasil ditangkap oleh para mahasiswa Papua. Sementara tiga ekor ular lainnya lepas ke pekarangan asrama.


Saat penghuni asrama mencoba menangkap ular-ular tersebut, ada beberapa orang yang memantau keadaan asrama tak jauh dari lokasi. Mahasiswa yang mengetahui keberadaan oran-orang itu lalu mengejarnya.

"Anak-anak sempat kejar, tapi (pelaku) lari, mereka sempat jatuhkan teropong, mereka berpakaian preman, empat orang dengan dua motor, tapi saya tidak tahu motor apa, dia lari lebih dulu," kata dia
.

Sumber: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190910183329-12-429208/selidiki-kasus-ular-polisi-tak-boleh-masuk-asrama-papua
Share:

Kasus Penipuan, Mantan Gubernur Aceh Divonis 1,5 Tahun Bui


Kasus Penipuan, Mantan Gubernur Aceh Divonis 1,5 Tahun Bui Mantan Gubernur Aceh Abdullah Puteh. (CNN Indonesia/Gloria Safira Taylor)

Mantan Gubernur Aceh Abdullah Puteh divonis satu tahun enam bulan penjara oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena terbukti melakukan penipuan.

Sidang putusan ini dipimpin oleh Hakim Ketua Kartim Haeruddin dan dihadiri langsung oleh Puteh.

"Terbukti bersalah dan meyakinkan melakukan tindak pidana penipuan. Dijatuhi hukuman satu tahun enam bulan penjara," ujar Hakim Ketua Kartim Haeruddin, Selasa (10/9).


Kasus tersebut terjadi pada pertengahan 2011. Puteh yang saat itu menjabat Komisaris LT Woyla Raya Abadi bertemu seorang bernama Herry Laksmono di Senayan City, Jakarta Pusat. Pertemuan itu berlanjut beberapa waktu kemudian di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat.

Dalam pertemuan itu, Puteh menyampaikan kepada Herry bahwa dirinya memiliki izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) dari Menteri Kehutanan, atas lahan seluas 6.521 Ha di Desa Barunang, Kecamatan Kapuas Tengah, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah.

Namun, Puteh mengaku terkendala pada modal, dia pun meminta bantuan Herry untuk dana pengurusan izin lain yang diperlukan agar usaha tersebut dapat dijalankan.

Penawaran yang diajukan oleh Puteh agar dapat dipinjami modal oleh Herry adalah dengan kerja sama. Nantinya, Herry diberikan hak memanfaatkan kayu yang ada dalam area IUPHHK-HTI yang dimiliki Puteh berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 297/Menhut-II/2009 tanggal 18 Mei 2009.


Adapun hal yang memberatkan adalah Puteh tidak mengakui perbuatannya dan berbelit-belit dalam memberikan keterangan sehingga menyulitkan persidangan. Puteh tidak menyesali perbuatannya yang telah merugikan orang lain.Herry pun menganggarkan biaya mengurus AMDAL sebesar Rp700 juta. Padahal biaya tersebut memakan Rp400 juta. Sidang penipuan Puteh itu telah berlangsung sejak 2018.

Hakim Kartim menyebutkan Puteh terbukti melanggar Pasal 378 KUHP.

"Majelis hakim sependapat dan berkesimpulan bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa tepat diterapkan pasal 378 KUHP sebagaimana tuntutan pidana JPU yang berpendapat dengan menyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan maksud menguntungkan diri sendiri, atau orang lain," tuturnya.


Hal yang meringankan adalah Puteh berlaku sopan dan memiliki keluarga yang menjadi tanggungannya.

Puteh tidak terima dengan putusan tersebut dan mengajukan banding. "Saya banding," tuturnya.

Jaksa Penuntut Umum pun mengajukan pikir-pikir atas putusan hakim. "Saya pikir-pikir," ucapnya.


Sumber: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190910190808-12-429223/kasus-penipuan-mantan-gubernur-aceh-divonis-15-tahun-bui
.
Share:

Polisi Bekuk Pembobol Bank BUMN Senilai Rp 1,3 Miliar


Polisi Bekuk Pembobol Bank BUMN Senilai Rp 1,3 Miliar Ilustrasi. (REUTERS/Kacper Pempel)

Sumber: Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri menangkap dua orang pembobol bank BUMN di Palembang, Sumatera Selatan. Kedua tersangka berinisial YA dan RF itu diketahui tergabung dalam satu sindikat peretas.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Polisi Dedi Prasetyo di Mabes Polri mengatakan kepolisian baru berhasil mengungkap satu sindikat yang merugikan bank BUMN sebesar Rp1,3 miliar.

"Total kerugian dari bank BUMN yang ada di Palembang sendiri cukup besar, yaitu kurang lebih sekitar Rp16 Miliar dari total kerugian tersebut. Yang baru berhasil diungkap baru 1 sindikat dengan total kerugian kurang lebih sekitar Rp1,3 miliar," kata Dedi di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa (10/9).

Polisi masih mengejar para pembobol dari sindikat lain. Dedi berkata sedikitnya ada dua orang lain dari sindikat tersebut masih berstatus buron. 


Kepala Unit 1 Direktorat Tindak Pidana Siber Polri Komisaris Ronald Sipayung menjelaskan modus pembobolan bank BUMN yang dilakukan oleh YA dan RF.

Kata dia, keduanya melakukan transaksi melalui aplikasi e-commerce Kudo. Selanjutnya pembayaran dengan menggunakan bank BUMN tersebut.

Transaksi-transaksi itu disebut Ronald selalu berhasil. Namun saldo YA dan RF tidak pernah berkurang. Akibatnya bank tersebut tetap harus membayar tagihan kepada Kudo.

"Mereka melakukan top up pulsa dan pembayaran-pembayaran lain, namun saldo di rekening tidak berkurang," kata Ronald dalam kesempatan yang sama.

Menurut Ronald, YA dan RF memiliki kemampuan membobol sistem perbankan karena mempelajarinya secara otodidak. Ia juga menyebut keduanya telah membeli sejumlah hal seperti properti, mobil, laptop hingga ponsel dari hasil pembobolan itu.

YA dan RF disebut melanggar pasal 28 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan/atau pasal 378 KUHP dan/atau pasal 372 KUHP dan/atau pasal 362 KUHP.

Keduanya terancam hukuman penjara paling lama enam tahun dan denda maksimal Rp1 miliar.

Share:

Polisi Periksa Ketum FPI Ahmad Sobri Lubis Kasus Dugaan Makar


Polisi Periksa Ketum FPI Ahmad Sobri Lubis Kasus Dugaan Makar Ketua Umum FPI, Ahmad Sobri Lubis akan diperiksa dalam kasus dugaan makar. (Detikcom/Ari Saputra)

Polisi akan memanggil Ketua DPP Front Pembela Islam (FPI) Ahmad Sobri Lubis untuk diperiksa sebagai saksi terkait kasus dugaan makar, Rabu (11/9).
Sobri diagendakan diperiksa sekitar pukul 10.00 WIB oleh penyidik Sub Direktorat Keamanan Negara (Subdit Kamneg) Ditreskrimum.

"Iya benar besok ada agenda pemeriksaan terhadap yang bersangkutan (Ahmad Sobri Lubis)," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono saat dikonfirmasi, Selasa (10/9).

Dalam surat panggilan yang diterima CNNIndonesia.com bernomor SPgl/9325/IX/2019/Ditreskrimum, Sobri bakal diperiksa sebagai saksi untuk laporan yang dibuat oleh Suriyanto. Laporan itu teregister dengan nomor laporan LP/B/0391/V/2019/Bareskrim tanggal 19 April 2019.


Laporan itu terkait dugaan tindak pidana kejahatan makar dan atau menyiarkan berita atau menyiarkan kabar yang tidak pasti sebagaimana dimaksud pasal 107 KUHP dan atau pasal 110 KUHP Jo pasal 87 KUHP dan atau pasal 14 ayat 1 dan ayat 2 dan pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.

Sugito pun mengaku tak tahu alasan Sobri diperiksa sebagai saksi. Ia juga mengaku perihal laporan tersebut. Apalagi, Sugito mengklaim bahwa Sobri tak berada di Kertanegara pada 17 April lalu.Peristiwa yang dilaporkan itu terjadi pada 17 April lalu di Jalan Kertanegara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. 

Dihubungi terpisah, kuasa hukum FPI Sugito Atmo Pawiro membenarkan pemanggilan terhadap Sobri. Namun, ia menyebut bahwa Sobri tak bisa memenuhi panggilan itu.

"Beliau sekarang masih di Aceh kegiatan safari dakwah, itu kan baru panggilan perdana sebagai saksi, dia baru pulang hari Jumat," tutur Sugito.


"Saya enggak tahu sebagai saksi siapa, masih simpang siur juga masalahnya," ujarnya.


Sumber: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190910174539-12-429190/polisi-periksa-ketum-fpi-ahmad-sobri-lubis-kasus-dugaan-makar
Share:

Kesaksian Polisi soal Massa Beratribut Ormas di Aksi 22 Mei

Kesaksian Polisi soal Massa Beratribut Ormas di Aksi 22 Mei Ilustrasi. (CNN Indonesia/Lalu Rahadian)

Salah satu anggota Polres Metro Jakarta Barat, Pratna, bersaksi mengenai massa beratribut organisasi masyarakat (Ormas) Front Pembela Islam (FPI) yang menyerang asrama Brimob Petamburan. Penyerangan itu buntut kerusuhan di depan kantor Bawaslu pada aksi 21-22 Mei lalu.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan saksi untuk menceritakan kronologi dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Selasa (10/9).

Saksi mengaku melihat langsung kejadian pembakaran sejumlah mobil yang sedang parkir di lapangan parkir asrama Brimob pada pukul 02.30 WIB. Ketika itu saksi sedang duduk di warung dekat lapangan parkir.


Menurutnya, sekitar 300 orang berdatangan dari markas FPI yang lokasinya tak jauh dari asrama Brimob. Ia mengatakan massa menggunakan pakaian putih bertuliskan laskar FPI dilengkapi peci dan serban hijau.

Sejumlah massa Aksi 22 Mei terlibat kericuhan di Jalan Wahid Hasyim, Jakarta, Rabu (22/5/2019). (ANTARA FOTO/Nova Wahyudi)
Kendati demikian ketika ditanya pihak kuasa hukum terdakwa, saksi menyatakan tidak bisa memastikan massa tersebut anggota FPI, terlepas dari atribut yang digunakan dan arah datangnya massa dari markas FPI.

"Yang saya tahu mereka datang dari markas FPI, kemudian menggunakan baju bertuliskan laskar FPI," tutur saksi menjawab pertanyaan kuasa hukum terdakwa.

Saksi juga menyoroti salah satu pelaku berbadan besar menggunakan rompi. Namun, ketika diminta mengidentifikasi pelaku tersebut, saksi tak tahu.

Saksi mengamini terkait ambulans hijau di TKP. Menurutnya, sejumlah ambulans membawa pelaku.

"Banyak ambulans membawa pelaku. Ambulans dari Bekasi," tuturnya.

Ia mengatakan ambulans tersebut dihentikan aparat, kemudian pelaku diamankan. Saksi mengaku tak melihat ada batu maupun senjata lain yang ditemukan di dalam ambulans.

Menurutnya, massa membawa sejumlah senjata seperti batu, balok, botol beling, bambu hingga bom molotov dan dilemparkan ke mobil-mobil di parkiran Brimob, sambil meneriakkan takbir "Allahu Akbar".

Ia juga mendengar seruan komando dari salah satu anggota demonstran yang mengajak massa membakar mobil-mobil tersebut.

Sedikitnya, 15 mobil terbakar dan 20 mobil rusak akibat kerusuhan itu. Saksi sendiri menanggung kerugian sejumlah Rp98 juta karena mobilnya habis terbakar. Sedangkan angka kerugian keseluruhan mencapai hampir Rp2 miliar. Mobil-mobil yang terbakar hingga kini masih ada di lokasi asrama Brimob.

Sidang hari ini rangkaian persidangan kelima yang dijalani lima terdakwa kerusuhan asrama Brimob. Agenda sidang adalah keterangan saksi dari jaksa penuntut umum.

Ketika ditanyai hakim, saksi mengaku tak mengenal atau melihat kelima terdakwa ketika kerusuhan terjadi. Namun ia mengiyakan pelaku ada yang berciri-ciri berbadan kecil.

Saksi juga tak tahu kapan kelima terdakwa ditahan oleh aparat. Ia hanya mengetahui 250 orang diamankan dalam rentang waktu pukul 06.00 sampai 12.00 WIB, ketika aparat melakukan sterilisasi di wilayah tersebut.

Lima terdakwa hadir dalam sidang yang terdaftar dengan No.1270/Pid.B/2019/PNjktbrt. Mereka adalah Makmuril Husni, Taufiq Hidayat, Imam Slamet, Supriyanto dan Ahmad Supriyanto.

Makmuril, Taufiq dan Imam diamankan kepolisian pada 22 Mei lalu, lalu menetap di Polsek Palmerah sejak 18 Juli. Sebelumnya mereka ditahan di Polres Jakarta Barat.

Makmuril diamankan pada pukul 05.00 WIB di Jalan Petamburan ketika sedang membopong demonstran lain yang tengah terluka karena terkena gas air mata. Sementara Taufiq ditangkap pada jam dan jalan yang sama sesaat sesudah mediasi oleh aparat.

Sedangkan Imam ditangkap saat akan dirujuk ke rumah sakit lain dari RS Pelni. Ia mengatakan aparat mengadang ambulans yang membawa dirinya di depan RS Pelni pada pukul 08.00 WIB. Saat itu Imam terluka karena terkena gas air mata.

Di akhir sidang, kelima terdakwa mengamini pernyataan saksi ketika ditanyai hakim. Sidang akan kembali dilanjutkan pekan depan masih dengan agenda yang sama.

Sumber: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190910182527-12-429217/kesaksian-polisi-soal-massa-beratribut-ormas-di-aksi-22-mei
Share:

4 Senpi dan Spionase ke Wiranto-Luhut di Dakwaan Kivlan Zen


4 Senpi dan Spionase ke Wiranto-Luhut di Dakwaan Kivlan Zen Kivlan Zen didakwa memiliki senjata api ilegal (ANTARA FOTO/Reno Esnir)

Mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) Mayjen TNI (Purn) Kivlan Zen didakwa memiliki senjata api dan peluru tajam ilegal. Sidang perdana pembacaan dakwaan digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus).

Dalam dakwaan, Kivlan disebut memiliki 4 senjata api dan 117 peluru tajam.

Dakwaan tersebut termaktub dalam berkas yang diterima CNNIndonesia.com dan dibacakan jaksa penuntut umum Fahtoni dalam sidang di PN Jakpus, Selasa (10/9).


"Sebagai orang yang melakukan atau turut melakukan perbuatan tindak pidana, yaitu tanpa hak menerima, menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan sesuatu senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak yakni berupa 4 pucuk senjata api dan 117 peluru tajam," mengutip bunyi dakwaan.

Kivlan disebut memiliki senjata dan peluru tajam tersebut berkat bantuan Helmi Kurniawan, Tajudin, Azwarmi, Irfansyah, Adnil, Habil Marati, dan Asmaizulfi.

Kivlan memiliki 1 pucuk senjata api laras pendek jenis Mayer kaliber 22 mm, serta 1 pucuk senjata api laras pendek jenis Revolver kaliber 22 mm plus.

Lalu, 1 pucuk senjata api laras pendek jenis Taurus ukuran 68 mm, dan 1 pucuk senjata api laras panjang rakitan kaliber 22 mm.

Habil Marati diduga menggelontorkan ratusan juta untuk pembelian senjata api yang akan digunakan Kivlan ZenHabil Marati diduga menggelontorkan ratusan juta untuk pembelian senjata api yang akan digunakan Kivlan Zen (Dok. Antara Foto)
Kasus kepemilikan senjata api ilegal ini bermula pada 1 Oktober 2018 lalu saat Kivlan bertemu dengan Helmi Kurniawan alias Iwan di Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta Timur. Kivlan meminta Iwan mencarikan senjata api ilegal dan berjanji akan mengganti dengan uang.

Di kesempatan yang sama, Iwan mengenalkan Tajudin kepada Kivlan.

Kemudian, Iwan bertemu dengan Asmaizulfi alias Vivi di Kantor Cawang Kencana, Jakarta, Lantai 9. Saat itu, Vivi menawarkan satu pucuk senjata api jenis Taurus kepada Iwan dengan harga Rp50 juta.

Senjata tersebut tidak dilengkapi surat resmi dari pejabat berwenang. Kemudian, Iwan setuju.

Transaksi lalu berlanjut di daerah Curug Pekansari, Cibinong, Bogor pada 13 Oktober 2018. Vivi menemui Iwan sambil membawa senjata api jenis Taurus. Iwan lalu menebusnya dengan uang Rp50 juta secara tunai.

Tak lama kemudian, Iwan melaporkan transaksi yang baru saja dilakukan kepada Kivlan Zen melalui sambungan telepon. Kivlan meminta agar senjata api itu disimpan dan akan diguanakan pada saat yang dibutuhkan.

Pada 9 Februari 2019, Kivlan bertemu dengan Iwan dan Tajudin di sebuah rumah makan di Kelapa Gading. Kivlan memberikan uang SGD15 ribu yang berasal dari Habil Marati.

Iwan lalu menukarkan uang tersebut ke money changer dengan jumlah Rp151.500.000. Uang tersebut kemudian diberikan kembali kepada Kivlan.

Akan tetapi, Kivlan hanya mau menerima Rp6,5 juta saja. Sisanya, yakni Rp145 juta, diberikan kepada Iwan untuk mengganti pembelian senjata api jenis Taurus.

Kivlan juga memerintahkan agar Iwan untuk mencari senjata api laras panjang dengan kaliber besar dengan uang tersebut.

Iwan, yang memegang uang dari Kivlan, kemudian memberikan Rp25 juta kepada Tajudin. Iwan memerintahkan Tajudin untuk memantau pergerakan Menkopolhukam Wiranto dan Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan.

"Saksi Helmi Kurniawan alias Iwan menyerahkan uang sebesar Rp25 juta yang berasal dari terdakwa (Kivlan Zen) kepada Tajudin sebagai biaya operasional survei dan pemantauan guna memata-matai Wiranto dan Luhut Binsar Panjaitan," mengutip bunyi dakwaan.

Iwan kemudian menghubungi Adnil untuk memesan senjata yang dikehendaki Kivlan. Adnil menyanggupi sekaligus memaparkan harga senjata yang dipesan Iwan.

Harga 1 pucuk senjata api laras pendek jenis Mayer kaliber 22 mm yaitu Rp5,5 juta, 1 pucuk senjata api laras pendek jenis Revolver kaliber 22 mm Rp 6 juta.

Kemudian, 1 pucuk senjata api laras panjang rakitan kaliber 22 mm seharga 15 juta.

Kemudian pada 15 Maret 2019, Iwan kembali bertemu dengan Habil, Tajudin dan Rosida. Pertemuan dilakukan di Saigon Cafe Pondok Indah Mall 3.Pada 3 Maret 2019, Adnil menyambangi kediaman Iwan di daerah Cibinong untuk mengambil uang tanda jadi membeli senjata sebesar Rp10 juta. Uang itu untuk pembelian dua senjata api jenis Mayer dan Revolver.

Adnil bertemu dengan Iwan untuk mengantar 3 senjata api jenis Mayer dan Revolver di daerah Cibinong pada 5 Maret 2019. Uang tunai Rp1,5 juta juga diberikan Iwan kepada Adnil.

Setelah menerima tiga pucuk senjata api dari Adnil, Iwan lantas melapor kepada Kivlan Zen bahwa dirinya telah mendapat 2 pucuk senjata api laras pendek dan 1 laras panjang.

Selanjutnya, pada 8 Maret 2019, Kivlan memberikan uang tunai Rp50 juta kepada Iwan untuk membeli senjata api. Itu terjadi di Pintu Tol TMII Jakarta Timur. Uang tunai Rp10 juta juga diberikan Kivlan kepada Tajudin untuk biaya operasional.

Iwan memnerahkan senjata api laras panjang kepada Tajudin pukul 19.00 WIB pada 9 Maret 2019 di daerah Cibinong.

Lalu pada 10 Maret 2019, sekitar pukul 17.00 WIB, Iwan, Tajudin, dan Azwarni alias Army bertemu dengan Habil Marati di Saigon Cafe Pondok Indah Mall 3. Habil berjanji akan membantu biaya operasional sebesar RP50 juta kepada Iwan.

Namun, Habil tidak membawa uang yang dimaksud saat pertemuan. Dia hanya memberikan Rp 10 juta kepada Iwan.


Dalam pertemuan itu, Habil memberikan uang tunai sebesar Rp50 juta kepada Iwan.

"Dan mengatakan bahwa uang tersebut dibutuhkan saksi Helmi Kurniawan untuk kepentingan bangsa dan negara dan berpesan agar Helmi Kurniawan alias Iwan tetap semangat," mengutip dakwaan.

Iwan lalu memberi Rp20 juta kepada Tajudin. Sedangkan sisanya, yakni Rp30 juta digunakan Iwan untuk biaya operasional.

Kemudian pada 21 Mei 2010, polisi menangkap Kivlan Zen, Helmi Kurniawan, Tajudin, Azwarmi, Irfansyah, Adnil, Habil Marati, dan Asmaizulfi.

Kivlan Zen didakwa dengan Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 12/drt/1951 jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 12/drt/1951 jo pasal 56 ayat (1) KUHP.

Kuasa hukum Kivlan, Tonin Tachta Singarimbun membenarkan dakwaan jaksa yang dibacakan dalam sidang perdana tersebut.

Sementara Kivlan menyatakan dakwaan yang dibacakan Jaksa Fahtoni tidak benar. Karenanya, dia berencana mengajukan eksepsi dalam sidang berikutnya.

"Yang Mulia saya akan eksepsi, saya merasa dakwaan itu saya tidak bisa menerima dan tidak benar maka saya akan eksepsi. Saya serahkan pada penasihat hukum dan saya juga akan mengajukan eksepsi sendiri," kata Kivlan kepada Hakim Ketua Hariono usai dakwaan selesai dibacakan seperti dilansir dari Antara.

Hakim Ketua Hariono menyetujui permintaan Kivlan. Sidang eksepsi akan digelar pada 26 September mendatang. Hakim Hariono memberikan tenggat waktu yang begitu lama, yakni 16 hari, karena kondisi kesehatan Kivlan yang kurang baik.

Sumber: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190910195122-12-429246/4-senpi-dan-spionase-ke-wiranto-luhut-di-dakwaan-kivlan-zen
Share:

Recent Posts